Kasih Sayang tak Pernah Hilang

>> Kamis, 26 Februari 2009

Siang itu, langit kota Madinah amat terik seolah akan membakar kulit. Membuat sebagian besar penduduknya enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih tinggal di dalam untuk menghindari sengatan yang luar biasa panasnya.

Namun, seorang perempuan tua berjalan tertatih-tatih di tengah panas matahari. Kedua tangannya membawa bungkusan besar, ia datang dari Makkah. Tampak tetesan keringat di wajahnya yang keriput. Sebentar-sebentar ia berhenti di bawah pohon untuk melepaskan lelahnya. Di balik mata cekungnya tersimpan beribu harapan untuk bertemu seseorang.

Inikah rumahnya? Tanya perempuan itu dalam hati. Dengan ragu, ia mendekati sebuah rumah mungil yang sederhana. Seorang perempuan cantik kebetulan tengah berdiri di depan pintu. Rupanya Asma binti Abu Bakar.

"Betulkah ini rumah Asma?" tanya perempuan itu seraya mengusap keringat.
"Ya, benar ini rumah Asma," dia mengerutkan dahinya untuk menegaskan penglihatannya. Rasanya ia sudah pernah mengenal perempuan itu. Tetapi, siapa dan dimana? Sejenak ia terdiam dan mengingatnya.

Kerinduan Asma yang selama ini dipendamnya hampir tak terbendung lagi. Ia berlari menghampiri ibunya. Betapa Asma ingin memeluk dan mencium ibu yang telah lama dinantikannya.

Tiba-tiba, Asma menghentikan langkahnya. Ia teringat ibunya masih musyrik, belum beriman kepada Allah. Asma memang anaknya. Dahulu perempuan itu istri dari Abu Bakar ketika mereka masih sama-sama menyembah berhala. Lalu, Abu Bakar masuk agama Islam yang dibawa Muhammad. Abu Bakar pun bercerai dengan perempuan itu.

Asma mengurungkan niatnya.

"Nak, kenapa tidak menyuruh ibumu masuk?" perempuan itu menatap Asma dengan rasa rindu dan sayang yang besar.

Asma terdiam. Tidak terasa air matanya berderai di pipi. Asma sangat bingung menghadapi ibu kandungnya yang masih musyrik itu. Apa ia boleh dipersilahkan masuk ke rumah? Apa boleh di peluk? Ah, sungguh Asma belum tahu.

Dengan hati tersayat, Asma masuk kerumah. Ia membiarkan ibunya tetap berdiri di halaman rumah. Di bawah sengatan terik matahari. Asma bergegas mencari Aslam, pembantunya.

"Aslam, tolong temui Rasulullah," kata Asma."Tanyakan pada beliau, apakah ibuku yang belum beriman itu boleh masuk ke rumahku?"
"Baik, aku segera ke sana," sahut Aslam. "Cepatlah Aslam. Aku tak tega membiarkan ibuku kepanasan di luar sana!"

Aslam bergegas menuju rumah Rasulullah. Tiba di hadapan Rasul, ia menceritakan apa yang di alami oleh Asma.

"Katakan pada Asma, persilakan ibunya masuk. Hormati dan muliakanlah. Tidak ada larangan bagi seorang anak untuk menghormati orang tua yang belum beriman kepada Allah," kata Rasulullah.

Pembantu itu pun segera pulang dan menyampaikan pesan Rasulullah. Hati Asma terasa lega. Asma berlari ke luar rumah menyambut ibunya dengan senyum ramah. Asma memeluk ibunya erat-erat, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.

"Silakan masuk, Bunda," ajak Asma sambil menuntun tangan ibunya. "Lihatlah cucu-cucu Bunda yang sudah besar-besar."

Ibunya tersenyum senang mendapatkan Asma hidup bahagia. Dikeluarkannya bungkusan berisi oleh-oleh aneka makanan yang dibuatnya sendiri.

"Asma, Bunda buatkan makanan kesukaanmu," katanya. Asma terharu. Rupanya, ibu masih mengingat semua kegemarannya. Asma menghormati ibunya dengan baik sekali. Dalam hati, ia bersyukur dapat menyayangi ibunya walaupun ibunya belum menjadi seorang Muslimah.







Posting Komentar

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP